Apa
yang kamu pikirkan saat mendengar nama Wira Nagara?
Komika, penulis, penyanyi, adventure content creator, podcaster, atau justru nggak tahu siapa dia?
Nih,
aku kasih tahu untuk yang tidak tahu siapa Wira Nagara. Jadi, Wira Nagara mulanya
dikenal sebagai komika. Namun, pada akhirnya Wira juga menjadi penulis,
penyanyi, ilustrator, pembuat konten tentang petualangan dan komedi, serta podcaster. Dia jebolan ajang SUCI 5
Kompas TV. Memang nggak menang, sih. Dia masuk 10 besar aja. Wira dikenal
sebagai komika yang puitis. Materi standup-nya
seringkali membahas tentang patah hati dan cinta-cintaan.
Setelah
keluar dari SUCI, Wira yang sebelumnya sudah sering menulis blog dan membuat
cuitan puitis di Twitter pun ditawari untuk membuat buku. Buku pertama Wira
Nagara berjudul Distilasi Alkena. Aku
pernah me-review buku tersebut
sebelumnya (dengan bahasa alay dan tata bahasa yang masih buruk :-D).
Kali ini aku mau membahas buku keduanya yang berjudul Disforia Inersia. Telat banget, sih. Buku itu udah terbit sejak 2018 dan aku masih membahasnya, tapi nggak apa-apa, ya, hehehe ….
![]() |
koleksi pribadi |
Kalau
judul Distilasi Alkena diambil dari
istilah kimia, maka Disforia Inersia adalah
gabungan istilah psikologi dan fisika. Seunik itu memang seorang Wira Nagara.
Disforia Inersia
ini masih kelanjutan Distilasi Alkena.
Meskipun menurutku bisa dibaca terpisah juga. Pada dasarnya, kedua buku ini
membahas tentang luka ditinggal oleh kekasih atau orang yang dicintai karena
orang itu lebih memilih hidup bersama orang lain. Cerita itu merupakan cerita
hidup Wira yang ditinggal menikah oleh orang yang dicintainya. Namun, aku yakin
sudah banyak tembelan di sana-sini
agar lebih dramatis dan disukai pasar.
Perbedaan Disforia Inersia dan Distilasi Alkena, yaitu adanya cerita dengan dialog. Distilasi Alkena tampilannya lebih seperti buku harian. Sementara di Disforia Inersia terdapat cerita yang tampilannya seperti cerpen pada umumnya, ada dialog. Untuk judul-judul babnya juga berbeda. Distilasi Alkena menggunakan gabungan istilah khusus dari awal hingga akhir, sedangkan Disforia Inersia tidak.
Persamaan Disforia Inersia dan Distilasi Alkena, yaitu masih ditulis
dengan kalimat puitis dan nyastra, banyak
kata-kata yang bisa dijadikan caption,
serta banyak selipan ilustrasi buatan Wira. Penjelasan tentang arti istilah-istilah
yang digunakan sebagai judul bab juga masih ada.
Buku
Disforia Inersia ini lebih
menceritakan tentang keinginan dan proses move
on. Istilah Disforia Inersia
diartikan sebagai kegelisahan seseorang yang masih menolak untuk melangkah
setelah berbagai hal yang menyiksa batinnya; yang pada akhirnya harus dia
terima.
Jumlah
halaman Disforia Inersia hanya 146
halaman. Buku setipis itu mungkin akan menjadi buku yang ringan untuk dibaca
dan tidak akan memakan banyak waktu. Namun, aku nggak secepat itu menyelesaikan
buku ini. Memahami setiap kata dan kalimat yang Wira tulis butuh proses. Kalau
tidak mengetahui background
pendidikan Wira, mungkin banyak yang akan menyangka dia lulusan jurusan sastra.
Karena tulisan Wira seperti syair yang penuh kata puitis dan metafora.
Aku
butuh waktu untuk mengerti apa yang ingin Wira sampaikan di setiap babnya. Meskipun
di akhir bab Wira akan menjelaskan secara singkat tentang apa yang
disampaikannya di bab tersebut. Lebih asyik mengulik sendiri maknanya ketimbang
langsung membaca penjelasan Wira.
Buku
Disforia Inersia ini kurekomendasikan
banget untuk dimiliki. Apalagi untuk kalian yang suka membaca buku sastra.
Saat
ini aku sedang menunggu buku ketiga Wira Nagara yang entah kapan akan terbit. Aku
pernah dengar Wira ingin menggunakan istilah matematika untuk buku ketiganya.
Kita tunggu saja.
Sabtu, 04 Februari 2023
0 Komentar
Silakan berikan komentar Anda dengan sopan